Rabu, 17 Desember 2008

Materi (bagian 1)

Matahari telah terbenam di batas cakrawala, langit telah gelap. Suara saya melemah, setelah menariknya secara terus menerus kemarin, latihan untuk kompetisi grup musik. Empat orang teman saya pergi dari tempat itu, dengan kendaraan bermotornya masing-masing. Pada hari itu saya akhirnya harus kembali ke rumah dengan jasa angkutan umum. Tepat di samping pangkalan angkutan umum berdiri sebuah restoran cepat saji, nafsu tergerak untuk mendatanginya, tanpa ada perlawanan atau bisikan penolakan untuk menghentikannya.

Kaki saya terus menapak hingga berhenti di depan kasir. Saya melihat daftar menu dan melihat isi dompet saya yang berisi sekitar tiga puluh lima ribu rupiah. Saya memesan sebuah makanan yang harganya sekitar sembilan belas ribu rupiah, tanpa penyesalan saya keluarkan selembar kertas hijau bertuliskan 20.000 rupiah. Lalu saya serahkan ke kasir kertas yang disebut uang itu. Dua buah daging yang berbalut roti di kemas rapih di dalam bungkus yang kasir berikan, setelah lima menit berlalu.

Saya kuliti bungkus dari kertas itu. Saya lahap daging, sayuran dan olesan mayonaise dengan balutan roti tebal tersebut. Rasa bersalah kemudian muncul atas uang yang terbuang. Saya pun berjalan kembali ke pangkalan angkutan umum menanti angkutan umum. Benih rasa bersalah kedua tumbuh begitu cepat, saya melahap makanan itu seperti tak peduli krisis dan kemiskinan yang terjadi. Harga makanan yang saya lahap itu pasti lebih dari uang yang mereka habiskan untuk makan sehari-hari, kesenjangan di negara ini benar-benar tinggi. Rasa solidaritas terlupa dan terbuang seiring kepuasan pribadi yang memuncak. Terketuklah kepala saya dengan rasa bersalah ketiga, bagaimana bila seorang tak mampu melihat saya makan dengan nikmatnya, di sampingnya melahap dengan nikmat makanan mahal itu. Padahal saya bisa membeli sesuatu yang lebih memenuhi kebutuhan manusiawi saya, dengan harga yang jauh lebih murah dan rasa yang nikmat. Andai saja saya lebih dapat mengenadlikan diri dalam menahan bujuk rayu nafsu, pasti uang itu akan menjadi lebih bermanfaat. Sayang, guilotine telah menebas kepala terpidana. Makanan itu telah habis sebelum saya duduk di dalam angkutan umum. Kosong, itulah kondisi mobil berwarna biru muda bertuliskan 26 yang akhirnya saya tumpangi.

2 komentar:

sbrnrl mengatakan...

wah mes. itu mah elonye aje yang laper. hahahak

dLi mengatakan...

yeah.. nice post.. :D